Plagiarism Checker X Originality Report

Plagiarism Quantity: 18% Duplicate

Date Tuesday, January 14, 2020
Words 683 Plagiarized Words / Total 3760 Words
Sources More than 46 Sources Identified.
Remarks Low Plagiarism Detected - Your Document needs Optional Improvement.

DETERMINAN PROKSI KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 24-59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUUWATU La Ode Alifariki1, La Rangki2, I Putu Sudayasa3, Haryati4, Rahmawati5, Sukurni6, Wa Ode Salam7 1Departemen Epidemiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo, Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari, Indonesia 3Departemen Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo, Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari, Indonesia 2,4,5,6Departemen Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo, Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari, Indonesia 7Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo, Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari, Indonesia E-mail Korespondensi: ners_ [email protected]

ABSTRACT Stunting is a short and very short body state that exceeds the Z-Score -2 SD deficit below the median length or height, as measured by height by age or length by age (TB / U or PB / U). Many factors affect the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months. The aims of study is to determine the determinants of the incidence of stunting in infants aged 24-59 months. This type of research is observational analytic using case kontrol design. The study population was all mothers who have children aged 24-59 months in the working area of ??Puuwatu Health Center, Kendari City. The number of sample cases as many as 35 people while the number of kontrol samples as many as 72 people with a sample ratio of 1 case: 2 kontrols so that the total sample of 108 people.

The results showed that mothers who had a height of <150 cm had a risk of 2.6 times having a toddler suffering from stunting compared to mothers who had a height of = 150 cm. Mothers who had ANC frequency <4 times had a risk of 2.2 times having a toddler suffering from stunting compared to mothers who had ANC frequencies <4 times. Mothers who have a history of non-exclusive breastfeeding have a risk of 3.1 times having a toddler suffering from stunting compared to mothers who have a history of exclusive breastfeeding. Families who have an income times having a toddler suffering from stunting compared to Families who have an income = Rp. 2,177,052.

In multivariate analysis and the greatest effect on stunting in the working area of ??Puuwatu Health Center in Kendari City was maternal height with Exp value = 0.386 Key word : Proxy Determinants, Stunting Events ABSTRAK Stunting adalah keadaan tubuh pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit Z-Score -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan, yang diukur dengan tinggi badan menurut umur atau panjang badan menurut umur (TB/U atau PB/U). banyak faktor yang memengaruhi kejadian stunting pada Balita usia 24-59 bulan. Tujuan penelitian untuk mengetahui determinan proksi kejadian stunting pada Balita usia 24-59 bulan. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan menggunakan desain case kontrol. Populasi penelitian adalah semua ibu yang mempunyai balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari.

jumlah sampel kasus sebanyak 35 orang sedangkan jumlah sampel kontrol sebanyak 72 orang dengan perbandingan sampel 1 kasus: 2 kontrol sehingga jumlah sampel secara keseluruhan sebanyak 108 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tinggi badan < 150 cm berisiko sebesar 2,6 kali mempunyai balita menderita stunting dibanding ibu yang memiliki tinggi badan = 150 cm. Ibu yang memiliki frekuensi ANC < 4 kali berisiko sebesar 2,2 kali mempunyai balita menderita stunting dibanding ibu yang memiliki frekuensi ANC < 4 kali. Ibu yang memiliki riwayat ASI tidak ekslusif berisiko sebesar 3,1 kali mempunyai balita menderita stunting dibanding ibu yang memiliki riwayat ASI ekslusif. Keluarga yang memiliki pendapatan < Rp. 2.177.052 berisiko sebesar 2,1 kali mempunyai balita menderita stunting dibanding Keluarga yang memiliki pendapatan = Rp. 2.177.052.

Pada analisis multivariate dan paling besar pengaruhnya terhadap kejadian stunting di Wilayah kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari adalah tinggi badan ibu dengan nilai Exp = 0,386. Kata Kunci: Determinan Proksi, Kejadian Stunting PENDAHULUAN Masalah gizi merupakan hal yang sangat kompleks dan penting untuk segera diatasi, terutama karena indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai permasalahan gizi paling lengkap seperti anemia (kekurangan zat besi), Kekurangan Energi Kronis (KEK), obesitas (kegemukan) dan Stunting (pendek)(Indonesia, 2015). Stunting adalah kelainan atau kegagalan pertumbuhan linear terjadi pada anak kecil yang menandai gangguan patologis dan kondisi kronis (Indriyan, DewI, & Salimo, 2018),(Budge, Parker, Hutchings, & Garbutt, 2019).

Indikator stunting adalah keadaan tubuh pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit Z-Score -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan, yang diukur dengan tinggi badan menurut umur atau panjang badan menurut umur (TB/U atau PB/U), dengan ciri postur anak lebih pendek dari anak seusianya, berat badan rendah untuk anak seusiannya dan pertumbuhan tulang tertunda(Kemenkes RI, 2017). Dampak balita yang mengalami stunting meningkatkan risiko penurunan kemampuan intelektual, menghambatnya kemampuan motorik, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di masa mendatang(Astari L D, Nasoetion A, 2015). Efek kumulatif dari kerusakan yang diakibatkan oleh perkembangan kognitif dan fisik balita stunting adalah penurunan kapasitas produktif termasuk prestasi sekolah yang lebih rendah, pengeluaran per kapita rumah tangga yang lebih rendah, dan penurunan output ekonomi nasional(Black et al., 2013; Martorell et al., 2010; World Bank, 2006).

Ukuran kerugian perkembangan akibat stunting diperkirakan bahwa dalam satu tahun, individu stunting akan mendapatkan rata-rata 22% penurunan perkembangan dibanding individu non stunting(Grantham-McGregor et al., 2007), dan laporan Bank Dunia memperkirakan pembiayaan akibat stunting dapat mengurangi 3% produk domestik bruto suatu Negara(World Bank, 2006). Ada 178 juta anak di dunia yang terlalu pendek berdasarkan usia dibandingkan dengan pertumbuhan standar WHO. Prevalensi anak stunting di seluruh dunia adalah 28,5% dan di seluruh negara berkembang sebesar 31,2%. Prevalensi anak stunting dibenua Asia sebesar 30,6% dan di Asia Tenggara sebesar 29,4%(UNICEF, 2013). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 diketahui bahwa prevalensi kejadian stunting secara nasional adalah 37,2%, dimana terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2 % pendek, yang berarti telah terjadi peningkatan sebanyak 1,6% pada tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%) dan hasil Riset Kesehatan Nasional 2018 menunjukkan adanya pebaikan status gizi pada balita di Indonesia. Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2% menjadi 30,8%(Kemenkes RI, 2018).

Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2007 prevalensi stunting mengalami peningkatan sebesar 33,4%, pada tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 28,3%, dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2013 sebesar 31,7% dan naik pada tahun 2018 menjadi 36%(Dinkes Propinsi Sulawesi Tenggara, 2016). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Kendari Prevalensi stunting pada tahun 2010 sebesar 421 per 10.000 balita. Pada tahun 2012 sebesar 908 per 10.000 balita. 2 Pada tahun 2014 sebesar 2.162 per 10.000 balita. Menurut Laporan Pemantauan Status Gizi Balita pada tahun 2016, status gizi balita yaitu sangat pendek sebesar 8,6%, pendek sebesar 20,0% dan normal sebesar 71,4%(Dinkes Propinsi Sulawesi Tenggara, 2016). Berdasarkan hasil penelitian Jihad, dkk. menemukan bahwa faktor risiko kejadian stunting adalah BBLR, riwayat pemberian ASI ekslusif, riwayat pemberian MP-ASI, tinggi badan ibu, sedangkan riwayat anemia bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting.

Hasil penelitian ini menunjukkan BBLR (p-value=0,007), riwayat ASI Eksklusif (p-value=0,004), riwayat usia pemberian MP-ASI (p-value=0,004) dan tinggi badan ibu (p-value=0,027). Sedangkan riwayat anemia pada ibu saat hamil (pvalue=0,219) bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting(Jihad & Ainurafiq, 2016). Puskesmas Puuwatu merupakan salah satu Puskesmas dengan kasus gizi kurang tertinggi pada tahun 2015 yaitu sebesar 1,1% sementara Puskesmas Benu-benua dan Puskesmas Labibia masing-masing sebesar 2,5%. Data Puskesmas Puuwatu, tentang kejadian stunting balita usia 24-59 bulan tahun 2012 terdapat 3,1% kasus, pada tahun 2013 terdapat 2,6% kasus, pada tahun 2014 terdapat 7,6% kasus, kemudian pada tahun 2015 terdapat 9,7% kasus, meningkat pada tahun 2016 menjadi 9,9% dan tahun 2017 menjadi 10,1% dan menurun pada tahun 2018 menjadi 8,9%(Puskesmas Puuwatu, 2017).

METODE Penelitian Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan menggunakan desain penelitian ini adalah case kontrol yakni mencari faktor paparan yang mungkin memengaruhi terjadinya stunting. Populasi penelitian adalah semua ibu yang mempunyai balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Puuwatu. Sedangkan sampel penelitian adalah sebagian ibu yang mempunyai balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Puuwatu. Penentuan besar sampel pada penelitian ini menggunakan tabel besar sampel. Untuk penelitian case kontrol study dengan menduga Odds Ratio (OR) berdasarkan uji hipotesis odds ratio pada tingkat kepercayaan 95% dimana OR = 2.00 dan P2 (probability eksposure pada kelompok kontrol) adalah 0,70 dengan menggunakan rumus Lemeshow, diperoleh nilai sampel kasus sebanyak 35 orang sedangkan jumlah sampel kontrol sebanyak 72 orang dengan perbandingan sampel 1 kasus: 2 kontrol sehingga jumlah sampel secara keseluruhan sebanyak 108 orang. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan responden kasus dan kontrol. Data diolah dengan program SPSS, penyajian data dalam bentuk tabel dan narasi berdasarkan variabel yang diteliti.

Data dianalisis secara deskriptif (univariat) dan bivariat menggunakan (OR) dan uji multivariate menggunakan logistic regresi pada batas kemaknaan a = 0,05. HASIL Tabel 1. Karakteristik Responden Terhadap Kejadian Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari Variabel Kejadian Stunting Jumlah   Kasus Kontrol    n % n % n %  Kelompok Umur Ibu        24-29 3 8,3 5 6,9 8 7,4  30-34 21 58,4 22 30,6 43 39,8  35-40 12 33,3 45 62,5 56 51,8  Tingkat Pendidikan        SD 2 5,6 17 23,6 19 17,6  SMP 17 47,2 20 27,8 37 34,2  SMA 11 30,6 31 43,1 42 38,9  Perguruan Tinggi 6 16,7 4 5,6 10 9,3  Jenis Pekerjaan Ibu        PNS 2 5,6 8 11,1 10 9,2  Wiraswasta 5 13,9 24 33,3 29 26,8  Ibu rumah tangga 21 58,4 33 45,8 54 50,0  Buruh 3 8,3 5 6,9 8 7,4  Petani 4 3,7 2 5,6 6 5,6   Tabel 2.

Risiko Kejadian Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Variabel Penelitian Kejadian Stunting Jumlah OR CI 95%   Kasus Kontrol     n % n % n %   Tinggi Badan       2,6 (1,169-6,066)  = 150 cm 20 55,6 23 31,9 43 39,8   > 150 cm 15 44,4 49 68,1 65 60,2   Frekuensi ANC       2,2 (0,858-5,642)  < 4 kali 11 30,6 12 16,7 23 21,3   = 4 kali 25 69,4 60 83,3 85 78,7   Riwayat ASI ekslusif       3,1 (1,327-7,389)  Tidak 17 47,2 16 22,2 33 30,6   Ya 19 52,8 56 77,8 75 69,4   Pendapatan keluarga       2,1 (0,918-4,762)   < Rp. 2.177.052 23 63,9 33 45,8 56 51,9    = Rp. 2.177.052 13 36,1 39 54,2 52 48,1    Tabel 3. Variabel Risiko Yang Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Variabel B S.E Sig. Exp (B) CI 95%       Lower Upper  Tinggi badan -.951 .452 .035 .386 .159 .937  Frekuensi ANC -1.230 .566 .030 .292 .097 .886  Riwayat ASI ekslusif -1.098 .467 .019 .334 .134 .833  Pendapatan keluarga -1.138 .502 .023 .320 .120 .858  Constant 2.416 .547 .000 11.202     PEMBAHASAN Tabel 1 menunjukkan bahwa kejadian stunting pada kelompok kasus lebih banyak usia ibu 30-34 tahun sebanyak 21 orang (58,4%).

Tingkat pendidikan pada kelompok kasus lebih banyak tingkat pendidikan ibu yakni SMP sebanyak 17 orang (47,2%), demikian pada kelompok kontrol tingkat pendidikan ibu yakni SMA sebanyak 31 orang (43,1%). Pada karakteristik tingkat pendidikan tingkat pendidikan, terlihat bahwa rata-rata ibu yang memiliki balita stunting baik pada kelompok kasus maupun kontrol, dominan berpendidikan sekolah menengah. Pendidikan ibu sendiri merupakan hal dasar yang dapat membantu tercapainya gizi anak yang baik. Apabila tingkat pendidikan ibu tinggi, maka akan lebih mudah untuk menerima informasi dibandingkan dengan ibu yang tingkat pendidikannya rendah. Dalam penelitian ini, ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah tidak selalu mengalami anak dengan masalah stunting dan begipula ibu dengan tingkat pendidikan tinggi pun masih memiliki balita stunting yakni ada 16,7%.

Kejadian stunting pada kelompok kasus lebih banyak jenis pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yakni sebanyak 54,8%), demikian pada kelompok kontrol jenis pekerjaan terbanyak sebagai ibu rumah tangga sebanyak 45,8%). Proporsi pekerjaan ibu sebagai ibu rumah tangga atau tidak bekerja sebesar 54,8% memiliki balita stunting dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul, diperoleh hasil bahwa pekerjaan ayah dan ibu merupakan faktor resiko terjadinya stunting. Tabel 2 pada variabel prediktor/independen, terlihat bahwa faktor risiko tinggi badan terhadap kejadian stunting pada kelompok kasus paling banyak kategori = 150 cm sebanyak 20 orang (55,6%) sedangkan pada kelompok kontrol paling banyak pada kategori > 150 cm sebanyak 49 orang (68,1%) dengan nilai OR sebesar 2,6 (1,169-6,066), artinya bahwa ibu yang memiliki tinggi badan < 150 cm berisiko sebesar 2,6 kali memiliki balita menderita stunting dibanding ibu yang memiliki tinggi badan = 150 cm.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanum et al(Hanum, Khomsan, & Heryanto, 1978) yang menyatakan bahwa ibu yang memiliki tinggi <150 cm terdapat pada anak yang mengalami stunting. Penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian yang dilakukan oleh Kartikawati(Kartikawati, 2011) yang menyatakan bahwa faktor genetik pada ibu yaitu tinggi badan berpengaruh terhadap kejadian stunting pada anak balita. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mamabolo dkk(Africa et al., 2014) menjelaskan bahwa orangtua yang pendek karena adanya gen pembawa sifat pendek memiliki kemungkinan memiliki anak stunting. Hal ini karena aliran darah rahim dan pertumbuhan uterus, plasenta dan janin pada ibu hamil pendek terbatas sehingga bayi yang dilahirkan memiliki berat badan rendah, sehingga perlu dilakukan perbaikan terhadap terjadinya perlambatan atau retardasi pertumbuhan janin yang dikenal sebagai IUGR (Intra Uterine Growth Retardation) dan berat bayi lahir rendah (BBLR).

Kejadian ini akan berlangsung di generasi selanjutnya, masalah anak pendek antar generasi tidak bisa dihindari kecuali ada erbaikan gizi dan pelayanan kesehatan yang memadai pada masa-masa tersebut. Pada penelitian ini terlihat bahwa ada ibu pendek akan tetapi memiliki balita tidak stunting, hal ini diyakini bahwa jika tinggi badan pendek yang dimiliki ibu disebabkan karena masalah kurangnya pemenuhan gizi dan bukan masalah genetik. Sejalan dengan hasil penelitian Hanum dkk(Hanum et al., 1978) yang menyatakan bahwa apabila orang tua pendek tersebut akibat karena ada faktor masalah gizi yang dialami orang tua maka belum tentu memiliki anak pendek sehingga ibu pendek tidak memiliki berpengaruh terhadap tinggi badan anaknya.

Faktor risiko frekuensi ANC terhadap kejadian stunting pada kelompok kasus paling banyak kategori = 4 kali sebanyak 25 orang (69,4%) sedangkan pada kelompok kontrol paling banyak pada kategori < 4 kali sebanyak 60 orang (83,3%) dengan nilai OR sebesar 2,2 (0,858-5,642). Sejalan dengan penelitian Amin(Amin & Julia, 2016) yang menunjukkan bahwa kunjungan ANC tidak terstandar kemungkinan memiliki risiko 2,1 kali lebih banyak mengalami kejadian stunting daripada yang tidak stunting pada balita usia 12-59 bulan dengan mengikutsertakan variabel usia ibu saat hamil, pendapatan keluarga, berat badan lahir dan panjang badan lahir (p-value < 0,05 dan OR 2,13; CI 95% 1,012-4,494).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Najahah(Najahah, 2013) yang menyatakan bahwa ibu yang melakukan kunjungan ANC tidak standar memiliki risiko mempunyai balita stunting 2,4 kali dibandingkan ibu yang melakukan kunjungan ANC terstandar. Kunjungan ANC selama kehamilan yang dilakukan oleh seorang ibu secara teratur dapat mendeteksi dini risiko kehamilan terutama yang berkaitan dengan masalah nutrisinya. Setiap kehamilan dalam perkembangannya memiliki risiko mengalami komplikasi/penyulit. Sehingga sesuai standar, ANC harus dilakukan secara rutin agar mendapatkan pelayanan antenatal yang berkualitas sehingga risiko seperti kekurangan gizi sejak hamil dapat dicari solusi sehingga tidak beradampak pada status gizi anak yang dikandungnya. Faktor risiko riwayat ASI ekslusif terhadap kejadian stunting pada kelompok kasus paling banyak kategori ya sebanyak 19 orang (52,8%) sedangkan pada kelompok kontrol paling banyak pada kategori ya sebanyak 56 orang (77,8%) dengan nilai OR sebesar 3,1 (1,327-7,389). Ibu yang memiliki riwayat pemberian ASI tidak ekslusif berisiko sebesar 3,1 kali memiliki balita stunting dibanding ibu yang memberikan ASI esklusif.

Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya dinataranya, penelitian Rambitan dkk(Rambitan et al., 2014) diperoleh nilai p value 0,167 yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan stunting pada anak batita di wilayah kerja Puskesmas Kawangkoan, dengan nilai OR 2,053 dapat dilihat bahwa bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif mempunyai kemungkinan risiko 2 kali untuk terjadi stunting. Serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Leny Sri Rahayu, dkk(Lestari, 2011) menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak berhubungan dengan kejadian stunting pada usia 6-12 bulan dengan p value 0,269 (p > 0.05).

Adanya perbedaan hasil penelitian ini karena pada penelitian ini jumlah kontrol yang digunakan dua kalilipat dari jumlah kasus sehingga hal ini memengaruhi hasil analisis statistik. Secara deskriptif terlihat bahwa baik pada ibu yang memiliki balita stunting maupun tidak stunting, riwayat pemberian ASI ekslusif menunjukkan angka yang tinggi yakni pada kasus sebesar 52,8% dan pada kontrol sebesar 77,8%, sehingga menurut keyakinan peneliti penyebab dari adanya risiko stunting dari riwayat pemberian ASI ekslusif disebabkan karena banyaknya sampel kontrol pada penelitian ini. Faktor risiko pendapatan keluarga terhadap kejadian stunting pada kelompok kasus paling banyak kategori < Rp. 2.177.052 sebanyak 23 orang (63,9%) sedangkan pada kelompok kontrol paling banyak pada kategori = Rp. 2.177.052 sebanyak 39 orang (54,2%) dengan nilai OR sebesar 2,1 (0,918-4,762). Artinya bahwa keluarga berpendapatan rendah < RP.2.177.052 berisiko sebesar 2,1 memiliki balita stunting dibanding keluarga berpendapatan tinggi.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chirande et el(Chirande et al., 2015) yang menyatakan bahwa anak balita yang hidup bersama keluarga dengan pendapatan keluarga yang rendah lebih berisiko terjadi stunting. Pendapatan keluarga akan menentukan daya beli terhadap pangan dan beberapa fasilitas seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain yang dapat memengaruhi status gizi(Kurniasari, 2012). Pendapatan keluarga yang rendah, kualitas dan kuantitas bahan pangan yang dibeli juga akan rendah, sehingga dapat menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan zat gizi dalam keluarga(Warsini, 2014). Pada tabel 3 di atas, terlihat bahwa nilai Exponensial yang paling besar adalah tinggi badan.

Hal ini menunjukkan bahwa dari 4 variabel predictor/dependen yang diproses pada analisis multivariate dan paling besar pengaruhnya terhadap kejadian stunting di Wilayah kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari adalah tinggi badan ibu dengan nilai Exp = 0,386. Hal ini secara jelas bahwa ketika keempat variabel prediksi diuji secara bersama-sama maka nilai variabel riwayat pemberian ASI ekslusif tereduksi oleh variabel tinggi badan ibu. SIMPULAN Pada analisis multivariate dan paling besar pengaruhnya terhadap kejadian stunting di Wilayah kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari adalah tinggi badan ibu dengan nilai Exp = 0,386 UCAPAN TERIMA KASIH Melalui kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor cq. Ketua LPPM Universitas Halu Oleo yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Africa, S., Mamabolo, R. L., Alberts, M., Steyn, N. P., Waal, H. A. D. De, & Levitt, N. S. (2014).

Prevalence and determinants of stunting and overweight in 3-year-old black South African children residing in the Central Region of Limpopo Province, Prevalence and determinants of stunting and overweight in 3-year-old black South African children residi, (September 2005). https://doi.org/10.1079/PHN2005786 Amin, N. A., & Julia, M. (2016). Faktor sosiodemografi dan tinggi badan orang tua serta hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 6-23 bulan. Jurnal Gizi Dan Dietetik Indonesia (Indonesian Journal of Nutrition and Dietetics), 2(3), 170. https://doi.org/10.21927/ijnd.2014.2(3).170-177 Astari L D, Nasoetion A, D. C. M. (2015). Hubungan Karakteristik Keluarga, Pola Pengasuh Dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan, 29(2), 40�46. Retrieved from https://pdfs.semanticscholar.org/d294/f38cb4e690abac629e4a85a933ce4fd95f60.pdf Black, R. E., Victora, C. G., Walker, S. P.,

Bhutta, Z. A., Christian, P., De Onis, M., � Martorell, R. (2013). Maternal and child undernutrition and overweight in low-income and middle-income countries. The Lancet, 382(9890), 427�451. Budge, S., Parker, A. H., Hutchings, P. T., & Garbutt, C. (2019). Environmental enteric dysfunction and child stunting. Nutrition Reviews, 77(4), 240�253. https://doi.org/10.1093/nutrit/nuy068 Chirande, L., Charwe, D., Mbwana, H., Victor, R., Kimboka, S., Issaka, A. I., � Agho, K. E. (2015). Determinants of stunting and severe stunting among under-fives in Tanzania: evidence from the 2010 cross-sectional household survey. BMC Pediatrics, 15, 165. https://doi.org/10.1186/s12887-015-0482-9 Dinkes Propinsi Sulawesi Tenggara. (2016). Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara. Kendari. Grantham-McGregor, S., Cheung, Y. B., Cueto, S., Glewwe, P., Richter, L., Strupp, B., & Group, I. C. D. S. (2007). Developmental potential in the first 5 years for children in developing countries.

Lancet (London, England), 369(9555), 60�70. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(07)60032-4 Hanum, F., Khomsan, A., & Heryanto, Y. (1978). Hubungan Asupan Gizi dan Tinggi Badan Ibu. Jurnal Gizi Dan Pangan, 9(1), 1�6. Indonesia, U. (2015). Indonesia Laporan Tahunan. Jakarta: UNICEF: Unite For Chlidren. Indriyan, E., DewI, Y. L. R., & Salimo, H. (2018). Biopsychosocial Determinants of Stunting in Children Under Five: A Path Analysis Evidence from the Border Area West Kalimantan. Journal of Maternal and Child Health, 03(02), 146�155. https://doi.org/10.26911/thejmch.2018.03.02.07 Jihad, J., & Ainurafiq, la O. A. I. A. (2016). risiko faktor BBLR, riwayat ASI Eksklusif, riwayat usia pemberian MP ASI, tinggi badan ibu dan riwayat anemia ibu saat hamil terhadap kejadian stunting pada balita usia 12-24 bulan di wilayah kerja puskesmas puuwatu kota kendari 2016. JIM Kesmas, 1(3).

Retrieved from http://ojs.uho.ac.id/index.php/JIMKESMAS/article/view/1222/869 Kartikawati, P. R. F. (2011). Faktor yang mempengaruhi kejadian stunted growth pada anak balita di wilayah kerja puskesmas arjasa kabupaten jember. Skripsi. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-7506-8774-4.50028-9 Kemenkes RI. (2017). Pusat Data dan Infomasi & Situasi Balita Pendek. (K. RI, Ed.). Jakarta. Kemenkes RI. (2018). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depkes RI. Kurniasari, A. N. R. (2012). Pendapatan Keluarga, Pengetahuan, Sikap, Konsumsi Serta Status Gizi Anak Keluarga Peternak Ikan Lele (Clarias Gariepinus). Bogor: IPB. Lestari. (2011). Hubungan Pendidikan Orang Tua Dengan Perubahan Status Stunting Dari Usia 6-12 Bulan Ke Usia 3-4 Tahun. Universitas Gadjah Mada. Martorell, R., Horta, B. L., Adair, L. S., Stein, A. D., Richter, L., Fall, C. H. D., � Group, C. on H. O. R. in T. S. (2010).

Weight gain in the first two years of life is an important predictor of schooling outcomes in pooled analyses from five birth cohorts from low- and middle-income countries. The Journal of Nutrition, 140(2), 348�354. https://doi.org/10.3945/jn.109.112300 Najahah, I. (2013). Faktor risiko balita stunting usia 12-36 bulan di Puskesmas Dasan Agung, Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Public Health and Preventive Medicine Archive; Vol 1 No 2 (2013): Public Health and Preventive Medicine Archive. Retrieved from https://ojs.unud.ac.id/index.php/phpma/article/view/7869 Puskesmas Puuwatu. (2017). Laporan Puskesmas Puuwatu. Kendari: Seksi Data Puskesmas Puuwatu. Rambitan, W., Purba, R. B., Kapantow, N. H., Kesehatan, F., Universitas, M., Ratulangi, S., � Batita, A. (2014). Hubungan riwayat pemberian ASI ekslusif sebagai faktor risiko kejadian stunting pada anak batita 1-3 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kawangkoan Kabupaten Minahasa, 167. UNICEF. (2013).

Improving child nutrition, the achievable imperative for global progress. New York. Warsini, K. (2014). Hubungan Status Gizi Ibu Saat Hamil dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 6-23 Bulan di Kabupaten Bantul. UGM. World Bank. (2006). Repositioning nutrition as central to development: A strategy for large scale action. World Bank Publications.