Plagiarism Checker X Originality Report

Plagiarism Quantity: 15% Duplicate

Date Tuesday, May 19, 2020
Words 636 Plagiarized Words / Total 4284 Words
Sources More than 49 Sources Identified.
Remarks Low Plagiarism Detected - Your Document needs Optional Improvement.

Terapi Oksigen Dengan Masalah Keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif Pada Pasien Ketosidosis Diabetik Prema Rinawati 1, ChanifChanif2 1Universitas Muhammadiyah Semarang 1,2Departemen Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Semarang Email: [email protected] Abstract Background: The patients Mrs. R and Mrs. S experienced shortness of breath, with laboratory results pH, pCO2 and HCO3 dropped, with a medical diagnosis of diabetic ketoacidosis. Objective: To understand nursing care in patients with diabetic ketoacidosis with ineffective breathing patterns in ICU of Roemani Muhammadiyah Semarang Hospital. Method: Final project was used quantitative study with a nursing care approach, the stages of study from assessment to evaluation by taking 2 patients with a medical diagnosis of diabetic ketoacidosis.

Result: Oxygen therapy and 450 semi fowler bed position were not effective to overcome the problem of breathing pattern. Conclusion: The management of patients with diabetic ketoacidosis with ineffective breathing patterns in the ICU Hospital is solved. Keywords: Diabetic ketoacidosis ; ineffective breathing pattern PENDAHULUAN Diabetes melitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya(American Diabetes Association, 2012). Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan darurat hiperglikemi yang mengancam jiwa pasien dengan diabetes melitus. KAD terjadi ketika seseorang mengalami penurunan insulin yang relatif atau absolut yang ditandai dengan hiperglikemi, asidosis, ketosis, dan kadar glukosa darah >125 mg/dL.

KAD merupakan komplikasi akut yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat (American Diabetes Association, 2013). WHO (World Health Organisation) memperkirakan bahwa 422 juta orang dewasa di atas 18 tahun hidup dengan diabetes. Jumlah terbesar orang dengan diabetes diperkirakan berasal dari Asia Tenggara dan Pasifik Barat terhitung sekitar setengah kasus diabetes dunia(Report., 2016). IDF (International Diabetes Federation) menyatakan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke 7 dengan jumlah penderita mencapai 10 juta jiwa. Berdasarkan kecenderungan statistik selama 10 tahun terakhir, IDF memprediksikan bahwa tahun 2040 Indonesia akan berada pada peringkat ke enam didunia dengan jumlah penderita jiwa mencapai 16,2 juta jiwa(International Diabetes Federation, 2015).

IDF menyatakan penderita DM meningkat menjadi 425 juta diseluruh dunia. Jumlah terbesar orang dengan DM yaitu berada di wilayah Pasifik Barat 159 juta dan Asia Tenggara 82 juta. China menjadi negara dengan penderita DM terbanyak di dunia dengan 114 juta penderita, kemudian di ikuti oleh India 72,9 juta, lalu Amerika serikat 30,1 juta, kemudian Brazil 12,5 juta dan Mexico 12 juta penderita. Indonesia menduduki peringkat ke-enam untuk penderita DM dengan jumlah 10,3 juta penderita(International Diabetes Federation, 2017). Data dari Riset Kesehatan Daerah (Kemenkes., 2018) bahwa di Jawa Tengah sebanyak 1,8% mengalami diabetes melitus. Pravelensi DM berdasarkan usia >15 tahun, pada tahun 2018 sebanyak 10,9% lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 sebanyak 6,9%.

Profil Kesehatan Kota Semarang (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2018) menyatakan data DM dengan penggunaan insulin tahun 2017 sebanyak 6489 kasus sedangkan tahun 2018 sebanyak 2896 kasus dan DM tanpa insulin tahun 2017 sebanyak 51329 kasus dan tahun 2018 sebanyak 6153 kasus. Produksi reactive oxygen species meningkat dalam kondisi hiperglikemi dan stres oksidatif berkontribusi pada kerusakan kardiovaskuler diinduksi oleh hiperglikemi(Rekha Nova Iyos, 2017). Terjadinya penurunan kesadaran pada pasien hiperglikemi yang mengalami komplikasi akut dan masuk kedalam kondisi KAD(Irham, 2017).Berdasarkan tingginya angka kejadian dan dampak yang ditimbulkan oleh penyakit DM, maka penulis berkeinginan memberikan Asuhan Keperawatan DM dalam bentuk penulisan suatu Karya Ilmiah Akhir Nersyang berjudul �Terapi Oksigen Dengan Masalah Keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif Pada Pasien Ketosidosis Diabetik�. METODE Penulisan karya ilmiah akhir ners ini menggunakan studi kuantitatif dengan pendekatan asuhan keperawatan, tahapan studi dari pengkajian sampai evaluasi.

Asuhan keperawatan pada dua pasien dengan diagnosa medis ketoasidosis diabetik dan masalah keperawatan utama pola nafas tidak efektif, yang dikelola selama 2-3 hari perawatan. HASIL Hasil pengkajian yang didapat pada pasien Ny.R sebagai berikut, usia 69 tahun, kesadaran menurun, nafas cepat dan dalam (kusmaul), RR 29 x/menit, SpO2 98%, pasien mengalami stroke, data penunjang keton positif, pH 7,2, dan HCO3 18 mmol/L, memiliki riwayat hipertensi, TD 201/105 mmHg. Pada pasien Ny.S dengan usia 67 tahun, pasien mengeluh sesak nafas, nafas cepat dan dalam (kusmaul), RR 31 x/menit, SpO2 96%, data penunjang keton postif, pH 7,1, HCO3 19 mmol/L, pasien mengatakan tidak memiliki riwayat hipertensi, TD 199/115 mmHg. Pada kedua pasien tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak terdapat edema pada ekstremitas.

Hasil pengkajian primer pada dua pasien dengan diagnosa medis ketoasidosis diabetik Tabel 1 Pengakajian primer dua pasien PENGKAJIAN PASIEN 1 PASIEN 2  AIRWAY Tidak ada sumbatan jalan nafas Tidak ada sumbatan jalan nafas  BREATHING Tampak sesak nafas (dyspnea), nafas cepat dan dalam Menggunakan nassal kanul 4 liter/menit RR : 29 x/mnt, SpO2 98% Tampak sesak nafas (dyspnea), nafas cepat dan dalam Menggunakan NRM 8 liter/menit RR : 31 x/mnt, SpO2 96%  CIRCULATION Akral dingin, kulit pucat, mulut kering, Hasil EKG : tachikardi Nadi cepat dan dalam 101 x/mnt, TD : 201/105 mmHg, GDS 247, Capilary refill < 3 dtk Akral dingin, kulit pucat Hasil EKG : ST Elevasi V2-V4 Nadi 96 x/mnt, GDS 226 TD : 199/115 mmHg Capilary refill < 3 dtk  DISABILITY GCS : 7 E 3 M 4 dengan afasia, Tampak sangat lemah GCS : 15  EXPOSURE Tidak terdapat luka, suhu : 37,10C tidak ada odema Tidak terdapat luka, suhu : 36,10C tidak ada odema   PEMBAHASAN Pada saat pengkajian didapatkan data bahwa pasien Ny.R

dan Ny.S memiliki usia >65 tahun dan saat pengambilan pasien di ICU hanya terdapat 2 pasien dengan KAD dan keduanya berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak menderita DM adalah perempuan hal ini sesuai dengan penelitian (Shara K, 2015) menjelaskan bahwa perempuan 50 orang (58,1%) sedangkan pada laki-laki berumlah 36 orang (41,8%), ini disebabkan karena secara fisik perempuanmemiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar bahkan pada wanita yang sudah tua (lebih dari 40 tahun) dan telah mengalami menopause mempunyai kecenderungan untuk lebih tidak peka terhadap hormon insulin. Hasil penelitian lain menyatakan bahwa jumlah persentase pasien diabetes dengan komplikasi yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan masing-masing sebesar 44,9% dan 55,1%. Pada dasarnya, angka kejadian DM Tipe 2 bervariasi antara laki-laki dan perempuan.

Mereka mempunyai peluang yang sama terkena DM. Hanya saja dilihat dari faktor resiko, perempuan mempunyai peluang lebih besar diakibatkan peningkatan indeks massa tubuh (IMT) yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pascamenopause yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita beresiko menderita DM (Meliyana, 2019). Menurut (Susanti, Masita, & Latifah, 2018)bahwa usia yang paling banyak menderita DM yaitu pada usia 61-80 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya peningkatan intoleransi glukosa, adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel � pankreas dalam memproduksi insulin selain itu terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%, hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi insulin.

Berdasarkan penelitian (Meliyana, 2019) bahwa prsentase paling banyak pada kategori umur 56 � 70 tahun sebesar 43,4% dan jumlah persentase terkecil pada kategori umur 26 � 35 sebesar 0,5%. Data ini sesuai dengan (Akhsyari, 2016) bahwa umur pada pasien diabetes paling banyak di atas 46 tahun sebesar 88,9%. Hal tersebut terjadi dikarenakan seseorang yang berumur di atas 46 tahun memiliki peningkatan resiko terhadap terjadinya DM dan intoleransi glukosa yang disebabkan oleh faktor degenerative yaitu menurunnya fungsi tubuh, khususnya kemampuan dari sel � dalam memproduksi insulin untuk memetabolisme glukosa.

Pada kedua pasien dengan riwayat DM dan KAD ditemukan tekanan darah tinggi dan ada yang memiliki riwayat darah tinggi atau hipertensi, hipertensi akan menyebabkan penebalan pembuluh darah arteri sehingga pembuluh darah akan menyempit dan nantinya akan mengganggu pengangkutan glukosa dari dalam darah (Zieve, 2012). Disfungsi endotel merupakan salah satu patofisiologi umum yang menjelaskan hubungan yang kuat antara tekanan darah dan kejadian DM. Hasil penelitian sesuai dengan teori bahwa responden dalam penelitian lebih banyak dengan riwayat hipertensi, Penelitian yang dilakukan(Shara K, 2015)dari 50 orang diperoleh 22 (81,5%) responden dengan hipertensi. Hasil uji statistic ada hubungan yang bermakna antara tekanan darah dengan DM. Orang yang terkena hipertensi berisiko lebih 6,85 kali lebih besar untuk menderita diabetes dibanding orang yang tidak hipertensi.

Penderita DM bahkan menjadi KAD belum tentu dikarenakan hipertensi, pada data salah satu pasien yaitu Ny.S tidak memiliki riwayat hipertensi, hal ini dikarenakan hiperglikemia dapat menyebabkan tekanan darah, dan pernapasan meningkat.Tekanan darah pada pasien diabetes melitus terjadi peningkatan karena termasuk kerusakan kompleks antara saraf dan pembuluh darah. Gula darah tinggi mengganggu kemampuan saraf untuk mengirimkan sinyal yang melemahkan dinding pembuluh darah kapiler untuk memasok saraf dengan oksigen dan nutrisi. Penderita DM mengakibatkan komplikasi neuropati otonom, atau kerusakan saraf otonom. Sistem saraf otonom ini berperan mengontrol hati, kandung kemih, paru-paru, lambung, usus, jantung dan mata.

Diabetes dapat mempengaruhi saraf otonom yg menyebabkan peningkatan denyut jantung meskipun ketika beristirahat, aliran darah yang buruk disebabkan kerusakan pembuluh darah perifer. Penyakit pembuluh darah perifer adalah gangguan sirkulasi yang mempengaruhi pembuluh darah dari jantung dan mempengaruhi tekanan darah menjad itinggi (Rahmana Lili, 2019). Proses teradinya DM menjadi KAD sebagai berikut, Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme dari distribusi gula oleh tubuh. Penderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup, atau tidak mampu menggunakan insulin secara efektif, sehingga terjadi kelebihan gula dalam darah.

Kelebihan gula yang kronis dalam darah ( hiperglikemia) ini menjadi racun dalam tubuh. Sebagian glukosa yang bertahan di dalam darah itu melimpah ke system urin untuk di buang melalaui urin. Pada tubuh yang sehat pancreas melepas hormone insulin yang bertugas mengangkut gula melalui darah ke otot-otot dan jaringan lain untuk memasok energi. Ketoasidosis terjadi karena tidak adanya insulin yang dihasilkan. Akibat dari defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam-asam lemak bebas akan di ubah menjadi badan keton oleh hati. Badan ketone bersifat asam dan bila bertumpuk dalam sirkulasi darah badan keton akan menimbulkan ketoasidosis diabetic. Ketoasidosis diabetic adalah komplikasi akut diabetes mellitus yang serius dan harus segera ditangani.

Ketoasidosis diabetic memerlukan penanganan yang cepat dan tepat mengingat angka kematian yang tinggi (Ice Ratnalela Siregar, 2014). Terjadi KAD apabila terdapat kekurangan insulin mutlak dan peningkatan hormon kontraregulator terstimulasi (kortisol). Produksi glukosa oleh hati meningkat, pemakaian glukosa perifer berkurang, mobilisasi lemak meningkat, dan ketogenesis (pembentukan keton) dirangsang. Pada keadaan kekurangan insulin, produksi berlebihan beta-hidroksibutirat dan asam asetoasetat (badan keton) oleh hati menyebabkan peningkatan konsentrasi keton dan peningkatan asam lemak bebas. Sebagai akibat dari kehilangan bikarbonat (yang terjadi bila terbentuk keton), penyangga bikarbonat tidak terjadi dan terjadi asidosis metabolik.

KAD juga dapat terjadi pada orang yang terdiagnosis DM saat kebutuhan tenaga meningkat selama stres fisik atau emosi. Keadaan stres memicu pelepasan hormon glukoneogenik, yang menghasilkan pembentukan karbohidrat dari protein atau lemak(LeMone, 2015). Hal ini sesuai dengan penelitian (Ludfitri, 2015) didapatkan data bahwa 10 responden (50%) mempunyai stres sedang dan 10 responden (50%) mempunyai stres berat (sangat stres). Kondisi stres bisa menyebabkan hiperglikemi karena kondisi tersebut memicu produksi autoantibody terhadap sel � pankreas. Sehingga terjadi destruksi dari sel �pancreas yang akan menyebabkan penurunan sekresi insulin dan akhirnya kekurangan hormon insulin. Kekurangan insulin ini akan mengakibatkan hiperglikemia, penguraian lemak dan katabolisme protein. Kondisi hiperglikemi jika tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan kondisi kegawatan. Data yang didapat saat pengkajian bahwa Ny.R

mengalami stroke, hal ini bisa terjadi dikarenakan keadaan hiperglikemia dan DM dapat mengakibatkan kerusakan sistemik yang luas pada tubuh. Hal ini disebabkan karena terdapat gangguan pada metabolism glukosa, lemak, dan protein sebagai hasil dari defek sekresi insulin maupun gangguan fungsi insulin di perifer. Komplikasi DM mengakibatkan kerusakan pembuluh darah (endotel) meliputi makroangiopati yang mengenai pembuluh darah besar pada jantung serta otak dan mikroangiopati meliputi nefropati dan retinopati. Komplikasi pada pembuluh darah besar bisa menyebabkan atherosklerosis. Walaupun penyakit atherosklerosis dapat terjadi pada seseorang yang bukan pengidap diabetes melitus, adanya diabetes melitus mempercepat terjadinya atherosklerosis.

Akibat atherosklerosis ini, antara lain penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, dan gangrene pada kaki. Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, 2010). Pada pasien dengan adanya riwayat penyakit diabetes mellitus akan mengalami penyakit vaskuler, sehingga terjadi mikrovaskularisasi dan terjadi aterosklerosis, terjadinya arterosklerosis dapat menyebabkan emboli yang kemudian menyumbat dan terjadi iskemia, iskemia menyebabkan perfusi otak menurun dan pada akhirnya terjadi stroke (Malik & Nasrul, 2015). Pasien Ny.R

sempat mengalami penurunan kesadaran, hiperglikemia menyebabkan penurunan volume, yang pada gilirannya menurunkan hilangnya glukosa lewat urin dan memungkinkan gula darah meningkat bahkan lebih tinggi. Hiperosmolalitas cairan tubuh dan dehidrasi dapat menyebabkan letargi, stupor dan akhirnya koma yang dapat terjadi bila KAD memburuk. Sehingga pada pasien dengan diabetes melitus dengan ketoasidosis akan megalami perubahan kesadaran(Morton, 2011). Hal ini sesuai dengan penilitian (Irham, 2017) bahwa terjadi penurunan kesadaran pada pasien hiperglikemi yang mengalami komplikasi akut dan masuk kedalam kondisi KAD. Kedua pasien mengalami sesak nafas dengan Ny.R pernafasan 29 x/menit dan Ny.S datang dengan keluhan sesak nafas dengan RR 31 x/mneit. Menurut(Morton, 2011) hiperventilasi yang terjadi secara bertahap pada awalnya dan kemudian terjadi sangat cepat dan makin jelas ketika pH turun dibawa 7,2 atau pH 7,2.

Peningkatan cepat pada ventilasi ini, yang terjadi lebih cepat dalam peningkatan kecepatan nafas, dikenal sebagai pernafasan kussmaul. Adanya pernafasan kussmaul yeng mencolok merupakan tanda bahwa pH 7,2 atau dibawah 7,2 yang secara relatif merupakan derajat asidosis. Berdasarkan (Gotera, 2014) bahwa pasien yang mengalami KAD dengan kategori sedang dengan pH 7,0-7,24. Hasil pemeriksaan EKG pada pasien Ny.S diperoleh Stemi, hal ini dapat terjadi pada pasien DM dikarenakan dengan adanya riwayat penyakit diabetes mellitus akan mengalami penyakit vaskuler, sehingga terjadi mikrovaskularisasi dan terjadi aterosklerosis, terjadinya arterosklerosis dapat menyebabkan emboli yang kemudian menyumbat dan terjadi iskemia, iskemia dapat menyebakan infark miokard (Malik & Nasrul, 2015).

Stemi adalah jenis serangan jantung yang paling serius, dimana ada gangguan pada suplai darah, hal ini terjadi karena ada penyumbatan di arteri koroner (Corwin, 2010). Penelitian (Rekha Nova Iyos, 2017) juga menyatakan bahwa produksi reactive oxygen species meningkat dalam kondisi hiperglikemi dan stres oksidatif berkontribusi pada kerusakan kardiovaskuler diinduksi oleh hiperglikemi. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes melitus dapat mengalami stemi dikarenakan aterosklerosis. Hasil penunjang yang didapatkan bahwa Ny.S mengalami edema pulmo, edema pulmo terjadi dari gagal jantung kiri yang mengakibatkan penumpukan cairan dan peningkatan tekanan di vena pulmonalis.

Ketika berat atau berkepanjangan, cairan melintas melewati dinding alveolar menuju alveoli dan pada akhirnya menuju ruang pleura, menyebabkan efusi pleura. Baik cairan interstisial maupun efusi pleura menyebabkan restriksi fungsi pulmonal. Fungsi pulmonal untuk mengetahui kandungan oksigen dan karbondioksida pada darah arteri, sehingga mengetahui bila ada masala difusi atau perfusi secara tidak langsung. Hasil laboratorium didapatkan bahwa kedua pasien terdapat keton yaitu 1+, pada pasien dengan KAD terjadi kekurangan insulin mutlak dan peningkatan hormon kontraregulator terstimulasi (kortisol). Produksi glukosa oleh hati meningkat, pemakaian glukosa perifer berkurang, mobilisasi lemak meningkat, dan ketogenesis (pembentukan keton) dirangsang. Peningkatan kadar glukagon mengaktifkan jalur glukoneogenesis dan ketogenesis di hati.

Pada keadaan kekurangan insulin, produksi berlebihan beta-hidroksibutirat dan asam asetoasetat (badan keton) oleh hati menyebabkan peningkatan konsentrasi keton dan peningkatan pelepasan asam lemak bebas. Sebagai akibat dari kehilangan bikarbonat (bila terbentuk keton), penyangga bikarbonat tidak terjadi dan terjadi asidosis metabolik. Depresi sistem saraf pusat (SSP) akibat penumpukan keton dan asidosis yang terjadi dapat menyebabkan koma dan kematian jika tidak ditangani (LeMone, 2015). Kehadiran keton dalam darah atau urine tidak hanya sinyal dari masalah metabolisme. Keton sendiri dapat berbahaya pada tingkat tinggi, keton dapat menurunkan pH darah dan menyebabkan ketoasidosis (Aritonang, 2016). Penelitian (Susanti et al., 2018) juga menyatakan keton adalah produksi simpangan dari metabolisme lemak.

Ketika tubuh tidak memiliki cukup glukosa, hati mengubah lemak menjadi asam keton. Berlebihnya keton yang ada di dalam darah disebut ketosis. Ketosis yang berat sangat berpotensi menyebabkan komplikasi dalam bentuk asidosis pada penderita DM, peningkatan kadar keton dalam darah akan menimbulkan ketosis sehingga dapat menghabiskan cadangan basa (misal bikarbonat, HCO3) dalam tubuh dan menyebabkan asidosis. Dari hasil pengkajian yang diperoleh dari kedua pasien maka diangkat masalah keperawatan utama yaitu pola nafas tidak efektif. Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis mengenai respon klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialami.

Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien, individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan masalah kesehatan. Diagnosa keperaatan sebagai dasar pengembangan rencana intervensi keperawatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). Diagnosa keperawatan utama yang muncul pada kedua pasien adalah pola nafas tidak efektif. Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016)pola nafas tidak efektif adalah inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat. Penyebab terjadinya pola nafas tidak efektif diantaranya sebagai berikut : depresi pusat pernafasan, hambatan upaya nafas, deformitas dinding dada, deformitas tulang dada, gangguan neuromuskular, imaturitas neurologis, penurunan energi, obesitas, posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru, sindrom hipoventilasi, cedera pada medula spinalis.

Gejala dan tanda mayor dengan masalah pola nafas tidak efektif berdasarkan data subektif adalah dispnea, sedangkan data objektif adalah fase ekspirasi memanjang, pola napas abnormal (takipne, kussmaul). Kondisi klinis terkait dengan digaosa keperawatan pola napas tidak efektif diantaranya depresi sistem saraf pusat, cedera kepala,trauma thoraks, stroke. Pasien Ny.R dan Ny.S memiliki keluhan yang berbeda, Ny.R datang ke IGD dengan penurunan kesadaran kemudian saat di ICU terpasang monitor dan diketahui bahwa pernafasan 29 x/menit (takipnea) dan Ny.S datang dengan keluhan sesak nafas dengan RR 31 x/mneit. Pada pasien dengan KAD mengalami defisiensi insulin sehingga terjadi ketogenesis yang tidak terkendali.

Saat asam keton masuk ke CES, ion hidrogen dilepaskan dari molekul dan dinetralkan dengan bergabung dengan bufer ion bikarbonat, sehingga mempertahankan pH CES dan menghasilkan residu anion asam keton. Seiring penumpukan anion asam keton, maka anion asam keton secara progresif menggantikan bikarbonat dari CES. Ketika asam keton terus menumpuk, bikarbonat serum menurun dan celah anion meningkat. Jika hal ini terus berlanjut, pH darah turun dan asidosis menjadi kondisi yang mengancam jiwa. Jika anion bikarbonat menurun karena diagantikan oleh anion asam keton, kelebihan gas karbondioksida harus dibuang melalui paru dengan cara hiperventilasi. Dikarenakan sistem bufer bikarbonat yang menentukan pH setiap saat dengan perbandingan anion bikarbonat terhadap karbondioksida plasma, hiperventilasi yang terjadi secara bertahap pada awalnya dan kemudian terjadi sangat cepat dan makin jelas ketika pH arteri turun. Peningkatan cepat pada ventilasi ini yang terjadi lebih cepat dalam peningkatan kedalaman nafas dikenal sebagai pernapasan kussmaul.

Diagnosa keperawatan pola nafas tidak efektif dijadikan diagnosa prioritas sebab pada pasien ketoaisdosis diabetik mengalami asidosis metabolik kemudian terjadi kompensasi dengan alkalosis respiratori yaitu nafas cepat dan dalam, terjadi hiperventilasi, apabila hiperventilasi tidak tertangani, maka terjadi kelelahan otot bantu nafas, sehingga pasien akan mengalami gagal nafas dan pasien pro intubasi (Morton, 2011). Intervensi keperawatan yang harus dilakukan oleh perawat untuk membantu mengatasi masalah keperawatan pola nafas tidak efektif adalah oxygen therapy dan vital sign monitoring. Pada kedua pasien sudah diberikan oksigen, kasus 1 Ny.R mendapat terapi oksigen nasal kanul 4 lpm dikarenakan RR 29 x/menit dan SpO2 98% sedangkan kasus 2 Ny.S mendapatkan terapai oksigen NRM 8 lpm dikarenakan RR 31 x/menit dan SpO2 96%.

Jadi pada kedua pasien sudah dilakukan terapi oksigen dan monitor TTV seperti tekanan darah, nadi, suhu, RR, SpO2. Ny.S mendapatkan terapi oksigen NRM hal ini dikarenakan NRM terdapat katup sehingga ketika karbondioksida bisa keluar dan tidak dapat masuk kembali ke masker dan oksigen yang masuk lewat masker lebih optimal. Pada Ny. S diberikan posisi 450 atau biasa disebut posisi semi fowler, karena posisi ini dapat mengurangi sesak nafas, sesuai dengan penelitian (Sulastri, 2015) bahwa saat pasien diberikan posisi semi fowler sesak nafas pasien berkurang, hal ini dikarenakan ketika pasien diberikan posisi semi fowler terjadi ekspansi dada yang maksimum pada pasien gravitasi menarik diafragma kebawah sehingga ekspansi paru yang lebih menyebabkan sesak nafas berkurang.

Pada kedua pasien tidak direncanakan untuk diberikan tehnik relaksasi nafas dalam dikarenakan pasien terlalu sesak, padahal tehnik relaksasi nafas dalam dapat meningkatkan oksigenasi dalam darah. Selain itu, relaksasi nafas dalam akan memunculkan kondisi rileks. saat kondisi rileks ini terjadi perubahan implus syaraf pada jalur aferen ke otak dimana aktifitas menjadi inhibisi. perubahan implus syaraf ini menyebabkan perasaan tenang secara fisisk maupun mental seperti berkurangnya denyut jantung, menurun kecepatan metabolisme tubuh dalam hal ini mencegah peningkatan kadar gula darah (Rizki Maulia, 2017). Implementasi dari rencana keperawatan dilakukan selama pasien dirawat di ICU. Pasien 1 Ny.R dirawat di ICU selama 3 hari dari tanggal 18-20 September 2019.

Implementasi keperawatan mulai dilakukan saat tanggal 18 September 2019, dilakukan pengkajian dengan kondisi pasien, dikarenakan saat masuk ke ICU pasien mengalami penurunan kesadaran kemudian dilakukan pengkajian secara objektif terkait kondisi umum pasien, tanda-tanda vital (TTV) yang bisa dilihat di bedside monitor yang didekat pasien dan data penunjang lainnya. Setelah 4 jam di ICU pasien mengalami kesadaran tapi masih lemas, pasien saat itu masih mendapatkan terapi oksigen yang sama yaitu penggunaan nassal kanul 4 lpm dan terpasang selang NGT. Pasien kedua Ny.S dirawat di ICU selama 3 hari dari tanggal 17-19 Oktober 2019.

Implementasi keperawatan mulai dilakukan tanggal 17 Oktober 2019, saat dilakukan pengkajian didapatkan data bahwa keluhan utama pasien yaitu sesak nafas, kemudian dilanjutkan dengan melakukan pengkajian secara objektif seperti kondisi umum pasien, monitor TTV melalui bedside monitor, dan data penunjang. Saat datang pertama kali di ICU pasien sudah menggunakan NRM 8 lpm, kemudian pasien diposisikan semi fowler, dan memonitor kondisi pasien. Hasil evaluasi pasien setelah dilakukan implementasi keperawatan selama perawatan di ICU. Evaluasi Ny.R tanggal 20 September 2019 bahwa pasien masih tampak sesak berkurang dengan data yang diperoleh RR 28 x/menit, SpO2 98%, suhu 37,30C, TD 187/84 mmHg, kesadaran pasien sudah membaik, pasien sudah ada respon.

Masalah pola nafas tidak efektif teratasi, perencanaan selanjutnya pada Ny.R diantaranya tetap lanjutkan terapi oksigen, monitor TTV dan pemeriksaan gula darah. Pada pasien kedua Ny.S evaluasi dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2019 pasien mengatakan masih sesak, RR 28 x/menit, SpO2 98%, suhu 370C, TD 165/97 mmHg, nadi 81 x/menit, saat ini terpasang NOC 5 lpm, hal tersebut menunjukkan suatu kondisi membaik atau perubahan kondisi menjadi baik dilihat saat awal RR 31 x/menit dan SpO2 96%, terpasang NRM 8 lpm. Masalah pola nafas tidak efektif teratasi, perencanaan selanjutnya pada Ny.S tetap lanjutkan terapi oksigen sesuai dengan kondisi, monitor TTV dan pemeriksaan gula darah. SIMPULAN Gambaran Pengkajian pada pasien Ketoasidosis Diabetik dengan masalah keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif di ICU diangkat berdasarkan hasil pengkajian secara medis. Kedua pasien Ny.R dan Ny.S

dirawat dengan diagnosa medis KAD yang didukung dari hasil pengkajian pasien yaitu keduanya mengalami masalah pernafasan, gula darah tinggi, dan memiliki riwayat DM. Diagnosa keperawatan utama yang diangkat pada kasus ini adalah pola nafas tidak efektif. Penegakan pola nafas tidak efektif pada pasien KAD sesuai dengan tanda dan gejala mayor dan minor dalam buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) yaitu adanya dispnea, pernafasan kussmaul, takipnea. Pola nafas tidak efektif ini disebabkan karena sindrom hipoventilasi. Implementasi keperawatan pada diagnosa pola nafas tidak efektif berfokus pada terapi oksigen dan monitor tanda-tanda vital. Perawat juga memberikan tindakan nonfarmakologi untuk mengatasi masalah keperawatan tersebut. Evaluasi keperawatan merupakan hasil dari rencana keperawatan dan implementasi yang sudah dilakukan.

Evaluasi keperawatan terdapat rencana tindak lanjut yang bisa dilakukan apabila masalah belum teratasi ataupun sudah teratasi. Evaluasi yang diperoleh dari kedua pasien selama di ICU masalah keperawatan pola nafas tidak efektif teratasi. UCAPAN TERIMAKASIH Saya ucapkan terimakasih kepada pembimbing klinik, pembimbing studi dan penguji yang telah membimbing serta mengarahkan sehingga karya ilmiah akhir ners menjadi lebih baik dan bermanfaat. REFERENSI Akhsyari, F. Z. (2016). Karakteristik Pasien Diabetes Mellitus di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen Tahun 2015. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. American Diabetes Association. (2012). Standard of Medical Care in Diabetes 2012. (Diabetes Care). American Diabetes Association. (2013). Standards of Medical Care in Diabetes 2013. 36: S11-S6(Diabetes Care). Aritonang, E. (2016). Pemeriksaan Keton Pada Urine Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Yang Di Rawat Inap Di RSUD H Adam Malik Medan.

Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2. Corwin. (2010). Patofisologi?: Buku Saku (Ed.3). Jakarta: EGC. Dinas Kesehatan Kota Semarang. (2018). Profil Kesehatan Kota Semarang 2018. In DKK Semarang. Gotera, W. (2014). Penatalaksanaan ketoasidosis diabetik (KAD). Jurnal Penyakit Dalam, 11(No.2). Ice Ratnalela Siregar. (2014). PEMERIKSAAN BADAN KETON PADA URINE PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE II (NIDDM) YANG DI RAWAT INAP DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Jurnal Ilmiah PANNMED, 3(No.3), 2005�2007. International Diabetes Federation. (2015). IDF Diabetes Atlas. International Diabetes Federation. Jurnal International Diabetes Federation Doi:10.1289/Image.Ehp.V119.I03. International Diabetes Federation. (2017). IDF Diabetes Atlas Eight Edition. Journal International Diabetes Federation. Irham, L. (2017). ANALISIS PERUBAHAN HEMODINAMIKA TUBUH PADA PASIEN HIPERGLIKEMIA DENGAN TERAPI REHIDRASI. Jurnal Keperawatan Mensenchepalonal, 3(No.2), 105�114. Kemenkes. (2018). Riset Kesehatan Dasar: Riskesdas.

Jakarta. LeMone, P. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC. Ludfitri, R. (2015). ANALYSIS OF FACTOR AFFECTING THE EMERGENCY OF DIABETIC KETOACIDOSIS IN PATIENT DIABETES MELITUS. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, 3, 12�17. Malik, M. I., & Nasrul, E. (2015). Artikel Penelitian Hubungan Hiperglikemia dengan Prothrombin Time pada Mencit ( Mus musculus ) yang Diinduksi Aloksan. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), 182�188. Meliyana, P. S. (2019). Gambaran Penyakit Komplikasi pada Pasien Diabetes di RSUD Kardinah Kota Tegal. Ejournal.Poltektegal, Vol 8 (2), 36�39. Morton, P. G. (2011). Keperawatan Kritis?: Pendekatan Asuhan Holistik (Ed.8). Jakarta: EGC. Rahmana Lili, C. (2019). HUBUNGAN NILAI EARLY WARNING SCORE (EWS) DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUANGAN PENYAKIT DALAM DI RSUD TENGKU RAFI�AN KABUPATEN SIAK. Journal of Ensiklopedia, 2(1), 1�5. Rekha Nova Iyos. (2017).

Hubungan Sindrom Koroner Akut dengan Riwayat Diabetes Melitus di RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek. Jurnal Keperawatan Unila, 1, 549�552. Report., W. | G. (2016). World Health Organization; Available. Retrieved from http://who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ Rizki Maulia, I. (2017). TERAPI RELAKSASI TEKNIK NAFAS DALAM ( DEEP BREATHING ) DALAM MENURUNKAN KADAR GULA. Journal Profesi Keperawatan, 4(2), 59�67. Shara K, T. (2015). Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol.5(No.1), 1�11. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & suddarth�s textbook of medical-surgical nursing (12th ed). Philadelphia: Wolters Kluwer Health; Lippincott Wiliams & Wilkins. Sulastri. (2015).

PERBEDAAN EFEKTIFITAS POSISI SEMI FOWLER DAN LATIHAN DEEP BREATHING TERHADAP PENURUNAN SESAK NAPAS PASIEN ASMA DI RSUD TUGUREJO SEMARANG. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, (2013), 1�11. Susanti, E., Masita, D., & Latifah, I. (2018). KORELASI GLUKOSA DAN KETON DARAH PADA PASIEN UNIT GAWAT DARURAT DAN RAWAT INAP PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSAU DR . ESNAWAN ANTARIKSA JAKARTA. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 10(September), 228�234. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diganosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI. Zieve. (2012). Hypertension. Jakarta: PubMed Health.